Belajar Seni Peran: Catatan Kreatif dari Kegiatan Teater Sekolah

Belajar Seni Peran

Belajar Seni Peran – Waktu itu aku masih kelas dua SMA, dan jujur aja, aku ikut kegiatan teater cuma karena pengin kabur dari ekskul wajib yang membosankan. Aku pikir, yaudah lah, teater kelihatannya seru, bisa ngelucu di panggung atau minimal dapet nilai tambahan. Tapi ternyata, Belajar Seni Peran itu jauh lebih kompleks—dan personal—daripada yang kubayangkan.

Pertama kali aku masuk ruang latihan, aku langsung merasa out of place. Semua orang kelihatan udah jago. Mereka bisa berubah jadi karakter apapun cuma dalam hitungan detik. Sementara aku? Masih mikir keras harus pasang ekspresi kayak gimana saat baca naskah. Serius, waktu disuruh jadi kakek-kakek tua yang kehilangan kucing, aku malah ngerasa kayak pembaca berita yang lupa script.

Tapi dari situ, aku mulai ngeh, kalau Belajar Seni Peran itu bukan soal jago langsung dari awal. Ini tentang membongkar identitas kita sendiri, ngelepas ego, dan mencoba hidup sebagai orang lain—meskipun cuma beberapa menit di panggung. Dan kadang, proses itu bisa nyakitin. Gimana enggak, pas latihan monolog soal patah hati, aku tiba-tiba kebawa baper sama mantan. Duh, jadi drama beneran, bukan cuma di naskah.

Ada satu momen yang masih keinget sampai sekarang. Latihan kami waktu itu diadakan hampir tiap sore, dan suatu hari, aku dapet peran sebagai tokoh antagonis. Awalnya aku mikir, “Ah gampang, tinggal galak aja.” Tapi ternyata nggak sesederhana itu. Aku diminta mikirin alasan kenapa si karakter bisa sejahat itu. Nggak cukup cuma tampil menyeramkan, tapi harus punya kedalaman emosi. Dan itu bikin aku mikir… mungkin orang jahat di dunia nyata juga punya latar belakang yang kita nggak tahu. Tiba-tiba jadi empatik.

Nah, di titik ini aku bener-bener ngerasa Belajar Seni Peran tuh kayak terapi gratis. Aku dipaksa untuk memahami orang lain lewat perspektif yang bukan milikku sendiri. Kayak saat aku harus jadi ayah yang kehilangan anaknya, padahal aku bahkan belum jadi orang tua. Tapi dengan bayangin pengalaman kehilangan yang paling dekat sama hidupku, aku bisa bawa emosi itu ke panggung. Dan waktu guru teater bilang, “Kamu bikin saya merinding barusan,” aku ngerasa berhasil.

Tentu nggak semuanya lancar. Ada juga masa-masa aku frustrasi setengah mati. Waktu itu aku harus bawain adegan dialog panjang banget, dan aku nggak hafal-hafal. Malam sebelum pentas, aku ngulang-ngulang sampe suara habis. Terus, pas hari H, malah blank total. Lampu sorot udah nyala, penonton nunggu, dan otakku kosong. Sumpah, itu malu banget. Tapi, ya itu pelajaran penting juga. Kadang kita terlalu fokus buat sempurna, sampai lupa buat hadir di momen itu.

Dari pengalaman itu, aku belajar bikin catatan kecil di sudut panggung—kayak semacam kode atau clue buat bantu ingat. Dan ternyata banyak aktor profesional juga ngelakuin hal serupa. Jadi, aku nggak ngerasa bego-bego amat waktu itu. Setidaknya, aku adaptif.

Yang paling berkesan justru momen-momen kecil di balik layar. Kayak pas barengan makeup, bercanda soal rambut palsu yang miring, atau saling ngasih semangat sebelum naik panggung. Itu bagian yang ngebikin teater sekolah jadi pengalaman kolektif, bukan cuma soal Belajar Seni Peran secara teknis. Kadang, aku ngerasa dapet lebih banyak pelajaran hidup daripada dari kelas biasa.

Buat kamu yang mungkin mikir ikut teater itu buang-buang waktu, coba deh pikirin lagi. Di sana kamu bakal belajar komunikasi, kerja tim, improvisasi, bahkan cara ngontrol emosi. Dan semua itu nggak cuma berguna di panggung, tapi juga di kehidupan nyata—apalagi kalau kamu kerja nanti harus presentasi di depan klien atau ngobrol sama bos.

Sedikit data menarik nih, menurut riset dari American Alliance for Theatre and Education, siswa yang aktif dalam seni peran punya peluang lebih tinggi 20% buat performa akademik yang lebih baik, terutama dalam literasi dan kemampuan sosial. Jadi, bukan cuma seru-seruan, tapi ada pengaruh riilnya juga ke prestasi.

Kalau kamu baru mulai, jangan takut salah. Aku dulu juga sering kedengeran kaku kayak robot waktu ngomong di atas panggung. Tapi semakin sering latihan, aku mulai berani ngimprovisasi. Kadang ngomongnya ngaco, tapi yang penting ekspresinya dapet. Lama-lama malah lebih percaya diri. Tip penting dari aku: rekam latihanmu, terus tonton ulang. Kamu bakal sadar bagian mana yang aneh atau perlu dibenerin.

Jangan lupa juga buat sering nonton pertunjukan lain, entah itu teater profesional atau pentas kecil. Aku sendiri banyak belajar teknik pernapasan, ekspresi mikro, sampai blocking panggung dari nonton dan nyontek gaya mereka (ya, nyontek dalam artian positif, ya). Semakin sering kamu konsumsi karya seni, semakin kaya juga referensimu.

Dan satu hal lagi, jangan remehkan proses pembacaan naskah. Aku pernah mikir itu bagian paling membosankan. Tapi pas mulai memahami subteks—apa yang nggak dikatakan secara eksplisit tapi penting banget buat karakter—aku jadi lebih nyatu sama peranku. Itu juga bikin aku mikir dua kali sebelum menghakimi orang di kehidupan nyata. Karena mungkin, apa yang mereka tunjukkan di luar bukan segalanya.

Akhirnya, yang paling aku syukuri dari pengalaman Belajar Seni Peran di teater sekolah adalah, aku jadi lebih kenal diriku sendiri. Aku tahu batas sabarku sampai mana, aku tahu cara menenangkan diri sebelum tampil, dan yang paling penting, aku tahu bahwa aku bisa gagal di depan banyak orang dan tetap bangkit lagi.

Kalau boleh jujur, kadang aku kangen latihan di ruang sempit dengan kipas angin tua yang bunyinya kayak pesawat mau take off. Tapi di situlah semua proses berharga itu dimulai. Dan walau sekarang aku nggak lanjut jadi aktor profesional, skill dan mental yang aku dapet dari teater sekolah terus kepake sampai hari ini—di kampus, kerja kelompok, bahkan pas ngadepin wawancara kerja.

Jadi, kalau kamu lagi mikir buat nyoba teater sekolah, atau mungkin baru mulai Belajar Seni Peran, saran dari aku: jalanin aja. Nikmati prosesnya, terima semua keanehan dan tantangan di dalamnya. Karena siapa tahu, kamu bukan cuma belajar jadi karakter lain, tapi juga versi terbaik dari dirimu sendiri.

Artikel di buat oleh: www.thegloblenews.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top