Kimia Anorganik
Kimia Anorganik – Gue masih inget banget hari pertama kuliah Kimia Anorganik. Dosen masuk kelas dengan ekspresi datar dan langsung buka slide penuh dengan tabel periodik, ikatan ionik, dan entah apalagi yang bikin kepala rasanya berat sebelah. Gue sempet mikir, “Ini serius bakal gue pelajari selama satu semester penuh?” Tapi ya, begitulah perjalanan gue dimulai. Jujur aja, Kimia Anorganik bukan mata kuliah yang paling gue nantikan, tapi justru di situlah tantangan dan pelajarannya muncul.
Awalnya, gue pikir ini cuma soal ngafalin senyawa dan reaksi. Tapi ternyata, Kimia Anorganik jauh lebih kompleks. Kita bicara soal struktur kristal, teori ikatan logam, hibridisasi, bahkan sampai pada reaksi redoks yang melibatkan transfer elektron rumit. Ini bukan cuma hafalan, bro. Ini soal memahami cara dunia non-organik bekerja. Dan anehnya, semakin gue pelajari, semakin gue nemu keindahan tersendiri di dalamnya.
Pernah satu kali gue ngabisin waktu dua hari cuma buat ngerti gimana cara kerja ikatan koordinasi dalam senyawa kompleks. Rasanya pengen nyerah aja, apalagi pas ngerjain soal latihan terus hasilnya salah semua. Tapi pas akhirnya gue bisa nemuin jawabannya sendiri—berkat kombinasi baca textbook, nonton video YouTube yang suaranya agak cempreng tapi informatif, dan diskusi iseng sama temen kosan—ada rasa puas yang nggak bisa dibayar pake nilai A sekalipun.
Ngomongin soal nilai, jangan pernah anggap remeh praktikum Kimia Anorganik. Di sanalah teori diuji langsung di lapangan. Pernah gue salah campur larutan dan hasilnya bukan endapan warna-warni yang diharapkan, tapi larutan bening kayak air kran. Ternyata gue salah urutan waktu nambahin reagen. Dari situ gue belajar, dalam kimia, urutan itu penting. Salah urutan bisa bikin reaksi nggak jalan. Mirip kayak hidup, ya kan?
Gue juga inget dosen gue pernah bilang, “Kimia Anorganik adalah fondasi dari teknologi material, katalis industri, bahkan baterai dan semikonduktor.” Waktu itu gue baru ngeh, oh, jadi ini alasan kita belajar ini semua. Karena ternyata ilmu ini ngebentuk dasar dari hampir semua hal yang kita pakai sehari-hari. Mulai dari ponsel, mobil listrik, sampai proses pemurnian air. Semuanya punya akar di Kimia Anorganik. Jadi walau kesannya teoritis banget, aplikasinya tuh nyata banget.
Salah satu hal paling membantu selama belajar adalah bikin catatan sendiri. Bukan sekadar nyalin dari slide, tapi nyoba ngerangkum dengan gaya bahasa gue sendiri. Misalnya, buat ngebedain antara senyawa ionik dan kovalen, gue pake analogi: ionik itu kayak hubungan LDR—elektronnya berpindah total ke pasangannya. Sedangkan kovalen itu kayak hubungan kompromi—elektronnya dibagi bareng. Emang agak ngaco, tapi serius, itu ngebantu banget buat inget konsepnya.
Dan gue juga belajar pentingnya latihan soal. Semakin banyak gue latihan, semakin kebuka pola-pola soalnya. Misalnya, soal tentang diagram MO (molecular orbital) itu sering banget keluar. Dan itu bukan cuma ngafalin urutan orbital, tapi juga tentang bagaimana elektron mengisi orbital itu dan ngaruh ke stabilitas molekulnya. Oh iya, kadang penjelasannya bikin ngantuk, tapi saat lo ngerjain soal terus dapet bintang lima dari dosen pas asistensi—rasanya kayak menang jackpot kecil di slot PGSoft, seriusan.
Ngomong-ngomong, waktu stres nyiapin UTS Kimia Anorganik, gue sempet iseng main slot PGSoft buat ngilangin penat. Lucunya, pas menang dikit, malah jadi semangat belajar lagi. Bukan karena duitnya, tapi karena ngerasa kayak “kalau bisa menang hoki di slot, masa gak bisa ngerti soal konfigurasi elektron?”
Yang sering disepelein juga: pentingnya belajar dari kesalahan. Gue pernah salah kaprah soal hukum Hess dan pengaruhnya dalam energi pembentukan. Baru ngerti setelah diskusi panjang sama dosen pembimbing. Dan dia dengan sabar ngejelasin sampai gue sendiri mikir, “Kenapa gak dari dulu tanya ya?” Jadi saran gue, jangan takut kelihatan bego. Tanya terus sampe ngerti.
Gue juga pengen bilang, jangan berharap semua orang di kelas ngerti Kimia Anorganik. Bahkan temen gue yang IPK-nya 3,9 pun pernah bilang ini mata kuliah paling ngeselin. Tapi itu bukan berarti gak bisa ditaklukkan. Kuncinya: konsisten, latihan, dan jangan terlalu keras ke diri sendiri. Kadang belajar sambil dengerin musik lo-fi atau sambil ngemil bisa bantu bikin otak lebih rileks.
Oiya, satu hal yang sering kelupaan: Kimia Anorganik itu luas banget. Ada bagian kimia transisi, kimia koordinasi, senyawa logam, bahkan unsur langka. Saran gue, pilih bagian yang lo suka dulu buat diperdalam. Gue pribadi tertarik banget sama senyawa kompleks karena mirip puzzle—harus disusun dan dimengerti secara logika dan visual. Dan percaya deh, ketika lo bisa menjelaskan suatu konsep ke orang lain, itu tandanya lo udah ngerti beneran.
Akhirnya, Kimia Anorganik ngajarin gue satu hal besar: bahwa logika dan kesabaran itu pasangan penting. Gak ada yang instan, dan semua hal besar butuh proses. Sama kayak ngebentuk kristal, harus pelan-pelan dan terstruktur. Lo bisa gagal berkali-kali, tapi tiap kegagalan itu adalah langkah menuju pemahaman yang lebih dalam.
Sekarang, tiap gue buka catatan kuliah Kimia Anorganik yang udah penuh coretan, stabilo warna-warni, dan kadang tulisan typo, gue ngerasa bangga. Itu bukti bahwa gue pernah berjuang di tengah tumpukan ion, atom, dan persamaan reaksi. Dan percaya atau nggak, ilmu itu nempel terus di otak, dan bahkan bikin gue lebih peka sama dunia sekitar. Siapa sangka ‘kimia yang katanya sulit’ malah jadi salah satu pelajaran hidup paling berkesan.
Kalau lo juga lagi kuliah Kimia Anorganik, santai aja. Jalanin pelan-pelan. Gagal itu biasa. Tapi asal lo mau terus belajar dan nanya, pasti bisa kok. Semangat, ya!